Mengapa Seseorang Bisa Jadi Egois? Ini Akar Masalahnya Menurut Psikolog
Dalam interaksi sosial kita sehari-hari, kita pasti pernah bertemu dengan tipe orang seperti ini: seseorang yang seolah-olah hidup di pusat alam semestanya sendiri, yang keputusannya selalu didasari oleh “apa untungnya buat saya?”, dan yang tampak kesulitan untuk memahami atau peduli dengan perasaan orang lain. Kita seringkali melabeli mereka dengan satu kata sederhana: egois. Namun, di balik perilaku yang menyebalkan itu, pernahkah Anda bertanya-tanya, mengapa seseorang bisa menjadi orang egois?
Menurut para psikolog klinis, egoisme bukanlah sekadar sifat karakter yang buruk. Seringkali, itu adalah sebuah gejala dari luka yang lebih dalam, sebuah mekanisme pertahanan diri yang terbentuk dari pengalaman masa lalu, atau hasil dari pola asuh yang keliru. Memahami akar penyebabnya bukan untuk membenarkan perilaku mereka, melainkan untuk memberikan kita perspektif yang lebih luas tentang kompleksitas sifat manusia dan bagaimana cara menghadapinya dengan lebih bijak.
Egoisme vs. Kepentingan Diri yang Sehat
Sebelum melangkah lebih jauh, penting untuk membedakan antara egoisme yang tidak sehat dengan kepentingan diri (self-interest) yang sehat. Mementingkan diri sendiri secara wajar adalah hal yang normal dan penting untuk bertahan hidup. Kita semua perlu memastikan kebutuhan dasar kita terpenuhi.
Perbedaannya terletak pada empati dan pertimbangan terhadap orang lain. Kepentingan diri yang sehat akan berkata, “Aku butuh istirahat, jadi malam ini aku tidak bisa membantumu.” Sementara itu, egoisme akan berkata, “Aku tidak peduli kamu butuh bantuan atau tidak, yang penting aku bisa bersantai.” Seorang orang egois secara konsisten menempatkan keinginan mereka di atas kebutuhan orang lain, seringkali dengan cara yang merugikan.
Akar dari Keegoisan: Penjelasan dari Sisi Psikologis
Menurut para ahli, ada beberapa faktor utama yang bisa membentuk seseorang menjadi pribadi yang sangat egois.
1. Pola Asuh yang Salah di Masa Kecil
Ini adalah faktor yang paling fundamental. Lingkungan keluarga adalah “pabrik” pertama yang membentuk kepribadian kita. Ada dua jenis pola asuh ekstrem yang bisa menumbuhkan sifat egois:
- Terlalu Dimanjakan (Overindulgence): Anak yang selalu mendapatkan semua yang ia inginkan, tidak pernah diajarkan untuk berbagi, dan selalu dilindungi dari konsekuensi perbuatannya, akan tumbuh dengan keyakinan bahwa dunia berputar di sekelilingnya. Ia tidak pernah belajar konsep empati atau kompromi.
- Terlalu Diabaikan (Neglect): Sebaliknya, anak yang kebutuhannya (baik fisik maupun emosional) sering diabaikan oleh orang tuanya akan belajar satu hal: “Jika aku tidak memperjuangkan diriku sendiri, tidak akan ada orang lain yang melakukannya.” Egoisme dalam kasus ini menjadi sebuah mekanisme pertahanan diri untuk bisa bertahan hidup.
Dampak dari jenis pola asuh anak terhadap pembentukan karakter memang sangatlah besar. Pola asuh yang tidak seimbang adalah resep utama untuk menumbuhkan berbagai masalah kepribadian di kemudian hari.
2. Rasa Insecure dan Harga Diri yang Rendah
Ini mungkin terdengar paradoks, tetapi banyak perilaku egois yang justru berakar dari rasa insecure yang mendalam. Seseorang yang merasa dirinya tidak berharga atau tidak mampu akan mencoba mengompensasi perasaan tersebut dengan cara meninggikan dirinya sendiri secara berlebihan. Mereka terobsesi dengan kesuksesan, pengakuan, dan validasi dari luar. Dalam upayanya untuk terus membuktikan nilainya, mereka menjadi tidak peka dan tidak peduli dengan orang-orang di sekitarnya yang mereka anggap sebagai “pesaing” atau “penghalang”.
3. Trauma Masa Lalu
Pengalaman traumatis, seperti pengkhianatan atau perundungan (bullying) yang parah, bisa membuat seseorang membangun “tembok” emosional yang tebal di sekeliling dirinya. Mereka menjadi sangat protektif dan tidak mudah percaya pada orang lain. Perilaku egois mereka menjadi cara untuk memastikan tidak ada seorang pun yang bisa menyakiti mereka lagi. “Aku harus melindungi diriku sendiri, karena tidak ada yang bisa dipercaya.”
4. Gangguan Kepribadian Narsistik (Narcissistic Personality Disorder)
Dalam kasus yang lebih ekstrem, egoisme yang patologis bisa menjadi salah satu gejala utama dari Gangguan Kepribadian Narsistik (NPD). Penderita NPD memiliki rasa superioritas yang tidak realistis, kebutuhan yang luar biasa akan pujian, dan kurangnya empati yang kronis. Mereka secara tulus percaya bahwa mereka lebih istimewa dari orang lain dan bahwa aturan tidak berlaku bagi mereka.
Bagaimana Menghadapi Orang Egois?
Berinteraksi dengan orang egois bisa sangat menguras energi emosional. Kuncinya adalah dengan melindungi diri Anda sendiri.
- Tetapkan Batasan yang Jelas: Jangan takut untuk mengatakan “tidak”. Beri tahu mereka dengan tegas di mana batasan Anda.
- Jangan Berharap Mereka akan Berubah: Anda tidak bisa mengubah kepribadian seseorang. Terima mereka apa adanya, tetapi putuskan seberapa besar “ruang” yang ingin Anda berikan untuk mereka dalam hidup Anda.
- Fokus pada Perilaku, Bukan Niat: Jangan buang energi untuk mencoba memahami “mengapa” mereka begitu. Fokuslah pada bagaimana perilaku mereka memengaruhi Anda dan bagaimana Anda akan meresponsnya.
- Jaga Jarak Emosional: Jangan biarkan perilaku mereka memengaruhi harga diri Anda. Sadari bahwa keegoisan mereka adalah masalah mereka, bukan cerminan dari nilai diri Anda.
Untuk memahami lebih dalam mengenai berbagai gangguan kepribadian dan cara kerjanya, sumber-sumber kredibel seperti American Psychiatric Association menyediakan penjelasan yang sangat detail dan akurat secara klinis.
Penyebab Orang Egois: Cermin bagi Diri Sendiri
Pada akhirnya, memahami mengapa seseorang bisa menjadi orang egois bukan hanya tentang menghakimi orang lain. Ini juga merupakan sebuah kesempatan untuk berefleksi ke dalam diri kita sendiri. Apakah ada perilaku-perilaku kita yang tanpa sadar mementingkan diri sendiri dan merugikan orang lain? Apakah kita sudah cukup berempati? Menjadi pribadi yang lebih baik dimulai dari kesadaran diri. Dengan memahami akar dari sifat-sifat negatif, kita bisa secara sadar memilih untuk menumbuhkan kebalikannya: empati, kepedulian, dan kebaikan hati.