Mengapa Gen Z Merasa Tua di Usia Muda? Ini Kata Psikolog

“Punggungku sakit…”, “Duh, udah nggak relate sama tren TikTok sekarang”, “Zaman kita dulu pas 2016…”. Kalimat-kalimat ini terdengar sangat wajar jika diucapkan oleh seseorang yang berusia 30-an akhir atau 40-an. Namun, bagaimana jika yang mengucapkannya adalah seorang mahasiswa berusia 22 tahun atau seorang fresh graduate berumur 24 tahun? Inilah paradoks yang sedang dialami oleh Generasi Z: sebuah fenomena psikologis di mana mereka merasa tua di usia muda.

Perasaan “lahir tua” atau menua sebelum waktunya ini bukan sekadar keluhan manja atau konten di media sosial. Menurut para psikolog dan sosiolog, ini adalah sebuah respons yang valid dan dapat dijelaskan secara ilmiah terhadap serangkaian tekanan unik yang dihadapi oleh generasi ini. Mereka adalah generasi pertama yang tumbuh sepenuhnya di bawah tatapan internet, menghadapi percepatan tren yang brutal, dan dipaksa melewati masa remajanya di tengah pandemi global. Jadi, apa sebenarnya akar penyebab dari fenomena psikologis yang menarik ini?

Fenomena Merasa Tua di Usia Muda’: Saat Usia 20-an Terasa Seperti 40-an

Merasa tua di usia muda bagi Gen Z bukanlah tentang penuaan fisik. Ini adalah tentang kelelahan mental dan emosional (mental and emotional fatigue). Mereka merasa “lelah” dengan kehidupan, sinis terhadap dunia, dan seringkali merasa tertinggal oleh tren-tren baru yang bahkan baru muncul beberapa bulan lalu. Berbeda dengan generasi Milenial sebelumnya yang dikenal memiliki fase “dewasa tertunda” atau prolonged adolescence, Gen Z seolah melompati fase itu. Mereka seperti beralih dari masa kanak-kanak langsung ke fase “dewasa yang lelah”.

Rasa lelah ini termanifestasi dalam berbagai cara: preferensi untuk aktivitas yang tenang di rumah daripada pesta, sakit punggung dan keluhan fisik lain yang biasanya diasosiasikan dengan usia lebih tua, serta perasaan nostalgia terhadap masa lalu yang sebenarnya belum begitu lama berlalu.

Akar Masalah #1: Tsunami Informasi dan ‘Kiamat’ Harian di Genggaman

Penyebab pertama dan mungkin yang paling fundamental adalah paparan informasi yang berlebihan (information overload). Gen Z adalah generasi pertama dalam sejarah manusia yang sejak kecil sudah memegang sebuah portal menuju semua informasi di dunia di saku mereka.

  • Paparan Krisis Global 24/7: Berbeda dengan generasi sebelumnya yang menerima berita buruk secara terjadwal (misalnya, dari koran pagi atau berita TV malam), Gen Z terpapar oleh aliran berita non-stop tentang krisis iklim, ketidakstabilan politik, resesi ekonomi, dan ketidakadilan sosial dari seluruh dunia, setiap saat. Paparan konstan terhadap isu-isu berat ini menciptakan sebuah kondisi kecemasan tingkat rendah yang kronis dan rasa pesimisme terhadap masa depan, yang secara psikologis membuat mereka “menua” lebih cepat.
  • Kelelahan Emosional (Emotional Burnout): Terus-menerus melihat konten yang memicu amarah atau kesedihan, bahkan jika itu terjadi ribuan kilometer jauhnya, menguras energi emosional. Ini menciptakan sebuah rasa lelah terhadap dunia (world-weariness) yang biasanya baru dirasakan di usia yang jauh lebih matang.

Akar Masalah #2: Dikejar-kejar ‘Deadline’ Tren dan Ekspektasi

Dunia digital yang dihuni Gen Z bergerak dengan kecepatan yang tidak pernah ada sebelumnya.

  • Percepatan Tren Mikro: Jika dulu sebuah tren musik atau fashion bisa bertahan selama beberapa tahun, kini di era TikTok, sebuah “core” atau estetika (seperti cottagecore atau Y2K revival) bisa lahir, menjadi viral, dan dianggap “ketinggalan zaman” hanya dalam hitungan bulan, bahkan minggu. Kecepatan siklus ini menciptakan tekanan konstan untuk terus mengikuti, dan jika seseorang melewatkan satu atau dua tren saja, ia bisa langsung merasa “tua” dan “tidak relevan”.
  • Tekanan Produktivitas (Hustle Culture): Gen Z dibombardir dengan narasi bahwa di usia 20-an, mereka seharusnya sudah memiliki side hustle, membangun personal brand, berinvestasi, dan memiliki rencana hidup yang jelas. Media sosial menampilkan teman-teman sebaya yang (tampaknya) sudah menjadi CEO, influencer sukses, atau berkeliling dunia. Perbandingan sosial ini menciptakan ekspektasi yang tidak realistis dan rasa cemas bahwa mereka “tertinggal” dalam perlombaan hidup.

Akar Masalah #3: Luka Batin Generasi Pandemi dan Pencarian Kenyamanan

Pandemi COVID-19 (2020-2022) datang dan “mencuri” tahun-tahun formatif yang sangat krusial bagi sebagian besar Gen Z. Momen-momen penting seperti kelulusan SMA, tahun pertama kuliah, atau awal mula meniti karier harus mereka lalui dalam isolasi di depan layar. Hal ini menciptakan sebuah “luka” generasi:

  • Waktu yang Hilang: Mereka merasa ada beberapa tahun dari “masa muda” mereka yang hilang begitu saja. Mereka menua secara kronologis, tetapi tidak mendapatkan pengalaman sosial yang seharusnya menyertai fase usia tersebut.
  • Kecemasan akan Kesehatan dan Ketidakpastian: Tumbuh dewasa di tengah krisis kesehatan global menanamkan rasa cemas dan ketidakpastian yang mendalam.

Rasa lelah dan kecemasan akibat berbagai tekanan ini membuat banyak Gen Z mencari kenyamanan di ruang-ruang privat mereka. Ini menjelaskan mengapa tren ‘cozymaxxing’, yaitu sebuah filosofi untuk memaksimalkan kenyamanan di rumah dengan selimut, lilin aromaterapi, dan suasana yang tenang, menjadi begitu populer. Ini adalah cara mereka untuk menciptakan “benteng” yang aman dari dunia luar yang terasa terlalu cepat, bising, dan menuntut.

Bagaimana Psikolog Memandang dan Apa Solusinya?

Para psikolog melihat fenomena merasa tua di usia muda ini sebagai sebuah respons adaptif yang bisa dipahami terhadap lingkungan yang belum pernah ada sebelumnya. Ini bukanlah sebuah kelainan, melainkan sebuah gejala zaman. Kuncinya adalah bagaimana mengelolanya agar tidak berkembang menjadi masalah kesehatan mental yang lebih serius.

Beberapa strategi yang disarankan antara lain:

  1. Kurasi Linimasa Anda: Lakukan digital detox secara berkala. Berhenti mengikuti akun-akun yang memicu rasa cemas atau perasaan tidak mampu. Sadari bahwa media sosial adalah panggung sandiwara yang hanya menampilkan sisi terbaik.
  2. Praktikkan JOMO (Joy of Missing Out): Alih-alih FOMO (Fear of Missing Out), belajarlah untuk menemukan kebahagiaan saat “ketinggalan”. Anda tidak harus tahu setiap tren atau drama terbaru. Merasa damai dengan pilihan Anda sendiri adalah sebuah kemewahan.
  3. Fokus pada Koneksi Nyata: Prioritaskan interaksi tatap muka dengan teman-teman dekat dan keluarga yang memberikan dukungan tulus, bukan sekadar validasi digital.

Memahami dan mengelola perasaan ini sangatlah penting. Platform kesehatan mental seperti Psychology Today seringkali membahas tantangan-tantangan unik yang dihadapi oleh setiap generasi dan menawarkan strategi untuk menghadapinya.

Merasa Tua di Usia Muda: Sebuah Generasi yang Dewasa Sebelum Waktunya

Pada akhirnya, fenomena Gen Z merasa tua di usia muda bukanlah sebuah lelucon, melainkan sebuah realita psikologis yang kompleks. Ini adalah potret dari sebuah generasi yang dipaksa untuk “dewasa” lebih cepat oleh tsunami informasi, tekanan produktivitas, dan sebuah krisis global yang mencuri masa remajanya. Ini bukanlah tanda kelemahan, melainkan sebuah tanda kepekaan terhadap dunia yang bergerak dengan kecepatan yang tak terkendali. Kunci untuk melewatinya adalah dengan memberikan diri sendiri izin untuk melambat, untuk tidak sempurna, dan yang terpenting, untuk mendefinisikan kembali arti “masa muda” dengan standar mereka sendiri, bukan dengan standar yang ditetapkan oleh algoritma.