Pakar Ungkap Munculnya Fenomena Rojali
Akhir pekan di sebuah pusat perbelanjaan megah di kota besar seperti Jakarta atau Bandung. Eskalator dipenuhi sesak, area food court riuh rendah oleh canda tawa, dan setiap sudut yang Instagrammable menjadi latar bagi sekelompok anak muda yang asyik berfoto. Namun, jika Anda perhatikan lebih saksama, ada satu hal yang janggal: kantong belanja yang mereka bawa bisa dihitung dengan jari, bahkan seringkali tidak ada sama sekali. Inilah pemandangan dari fenomena Rojali.
Istilah “Rojali”, akronim dari “Rombongan Jarang Beli”, sudah lama menjadi label, seringkali dengan nada sedikit mencibir, bagi sekelompok anak muda yang menjadikan mal sebagai tempat utama untuk “nongkrong”. Namun, menurut para pakar sosiologi dan budaya urban, fenomena ini jauh lebih dalam dari sekadar masalah “tidak punya uang” atau “cuma cuci mata”. Kemunculan Rojali adalah sebuah gejala sosial yang kompleks, sebuah cerminan dari pergeseran nilai, kebutuhan, dan kondisi sosio-ekonomi masyarakat kita saat ini.
Apa Itu Fenomena Rojali? Lebih dari Sekadar ‘Cuci Mata’
Secara harfiah, fenomena Rojali menggambarkan perilaku sekelompok orang (biasanya remaja atau dewasa muda) yang datang ke pusat perbelanjaan dalam rombongan, menghabiskan waktu berjam-jam di sana, namun sangat minim atau bahkan tidak melakukan transaksi pembelian barang ritel sama sekali. Aktivitas utama mereka adalah berjalan-jalan, duduk-duduk, bertemu teman, dan yang paling penting di era sekarang: membuat konten untuk media sosial.
Ini perlu dibedakan dari aktivitas “window shopping” generasi sebelumnya. Jika window shopping tujuannya adalah untuk melihat-lihat barang sebagai referensi sebelum membeli nanti, maka bagi “Rojali”, mal itu sendiri adalah destinasinya. Pengalaman berada di dalam mal, berinteraksi dengan teman-teman di lingkungan yang nyaman dan modern, itulah “produk” yang sebenarnya sedang mereka konsumsi. Belanja barang menjadi aktivitas sekunder atau bahkan tidak penting sama sekali.
Akar Masalah #1: Mal sebagai Ruang Publik ‘Gratis’ yang Aman dan Nyaman
Menurut para sosiolog urban, akar utama dari fenomena Rojali adalah minimnya ruang publik yang berkualitas dan inklusif di kota-kota besar Indonesia. Coba kita pikirkan, di mana anak muda bisa berkumpul dengan teman-temannya dalam jumlah besar, secara gratis, dan merasa aman serta nyaman? Taman kota atau alun-alun seringkali kurang terawat, panas, dan terkadang dianggap kurang aman. Sementara itu, ruang-ruang publik lain seperti perpustakaan atau pusat komunitas belum menjadi pilihan utama.
Mal, dengan segala kekurangannya, berhasil mengisi kekosongan ini. Ia menawarkan sebuah “paket komplet” yang sulit ditolak:
- Kenyamanan: Pendingin udara (AC) yang sejuk, sebuah kemewahan di negara tropis.
- Keamanan: Adanya petugas keamanan yang berpatroli memberikan rasa aman.
- Fasilitas: Toilet yang bersih, tempat duduk, dan musala tersedia gratis.
- Aksesibilitas: Lokasinya strategis dan mudah dijangkau dengan transportasi publik.
Tanpa biaya masuk, mal secara de facto telah menjadi alun-alun modern, ruang publik ketiga (third place) setelah rumah dan sekolah/tempat kerja, bagi jutaan anak muda di Indonesia.
Akar Masalah #2: Ekonomi Aspirasi dan ‘Experience over Ownership’
Faktor kedua bersifat psiko-ekonomi dan sangat relevan dengan generasi Milenial dan Gen Z.
- Ekonomi Aspirasi: Anak muda saat ini terpapar tanpa henti oleh gaya hidup mewah dan tren terbaru melalui media sosial. Mereka melihat para influencer memakai pakaian dari merek-merek ternama yang dipajang di etalase mal. Meskipun daya beli mereka mungkin tidak cukup untuk memiliki barang-barang tersebut, dengan datang ke mal, mereka bisa “menyerap” aura dan “merasakan” menjadi bagian dari gaya hidup aspiratif tersebut.
- Pengalaman Lebih Penting dari Kepemilikan: Generasi sekarang cenderung lebih menghargai pengalaman (experience) daripada kepemilikan barang (ownership). Pergi ke mal bersama teman, tertawa, membuat cerita, dan mengabadikannya di media sosial adalah sebuah “pengalaman” yang bernilai. Nilai dari interaksi sosial ini jauh lebih tinggi daripada nilai dari membeli sebuah kaus baru.
Dorongan untuk “tampil” dan menjadi bagian dari sebuah gaya hidup ini, meskipun tidak mampu membeli produknya, adalah sebuah fenomena global. Ini secara menarik paralel dengan filosofi komunitas La Sape di Kongo, yang juga menggunakan penampilan elegan sebagai bentuk ekspresi diri dan harga diri di tengah keterbatasan ekonomi. Keduanya adalah cara untuk “merasakan” sebuah status aspiratif.
Akar Masalah #3: Kebutuhan akan Konten dan Validasi Sosial
Di era di mana “Instagram story” adalah bukti eksistensi, mal adalah sebuah studio foto raksasa yang gratis. Setiap sudut mal modern dirancang untuk menjadi Instagrammable—dari instalasi seni, dekorasi musiman, hingga desain interior kafe-kafe di dalamnya. Bagi para “Rojali”, mal adalah latar yang sempurna untuk menciptakan konten.
Aktivitas “membuat konten” ini bukan sekadar narsisme. Ini adalah cara mereka untuk terhubung dengan teman-temannya di dunia maya dan mendapatkan validasi sosial. Mengunggah foto dengan geotag di mal ternama adalah sebuah penanda bahwa mereka aktif secara sosial, mengikuti tren, dan tidak “kuper” (kurang pergaulan). Kepuasan yang didapat dari jumlah likes dan komentar seringkali lebih besar daripada kepuasan yang didapat dari membeli sebuah barang.
Bagaimana Mal Merespons? Pergeseran dari Pusat Ritel ke Pusat Hiburan
Para pengelola mal yang cerdas sebenarnya sadar betul akan fenomena Rojali ini. Alih-alih mengusir mereka, mereka justru beradaptasi. Mereka sadar bahwa model bisnis mal yang hanya mengandalkan penjualan ritel sudah usang. Kini, strategi mereka bergeser dari “pusat perbelanjaan” menjadi “pusat pengalaman” (experience hub).
Mereka kini lebih banyak mengalokasikan ruang untuk penyewa yang menjual pengalaman, seperti:
- F&B (Makanan & Minuman): Area food court, kafe-kafe kekinian, dan restoran menjadi jangkar utama. Karena meskipun “jarang beli” baju, para Rojali ini tetap butuh tempat untuk duduk dan memesan setidaknya satu es teh manis.
- Hiburan: Bioskop, arena permainan (arcade), tempat karaoke, atau bahkan arena seluncur es menjadi daya tarik utama.
- Event: Mal kini rutin menggelar berbagai acara, mulai dari konser musik, pameran, hingga kompetisi e-sports untuk terus menarik keramaian.
Pergeseran strategi dari pusat perbelanjaan menjadi pusat pengalaman ini adalah tren global yang juga terjadi di Indonesia. Laporan dari lembaga riset pasar atau media bisnis seperti Marketeers seringkali membahas bagaimana para pengelola mal harus berinovasi dan fokus pada tenant F&B serta hiburan untuk bisa bertahan di era digital dan menarik traffic.
Fenomena Rojali: Bukan Salah Mereka, Tapi Cermin Masyarakat Kita
Pada akhirnya, memandang fenomena Rojali hanya sebagai sekelompok anak muda “bokek” yang mengganggu adalah sebuah pandangan yang terlalu dangkal. Perilaku mereka adalah sebuah cerminan yang jujur tentang kondisi masyarakat urban kita. Ini adalah potret dari minimnya ruang publik yang ramah anak muda, tekanan ekonomi yang membuat gaya hidup aspiratif terasa jauh, dan pergeseran nilai ke arah pengalaman dan eksistensi digital. Alih-alih mencibir, mungkin fenomena ini seharusnya membuat para perencana kota dan pemangku kebijakan bertanya: sudahkah kota kita menyediakan ruang yang cukup bagi anak-anak muda untuk sekadar “menjadi muda” dan bersosialisasi, tanpa harus selalu membayar mahal?