Ketika Hashtag Jadi Cermin Kegelisahan
Beberapa bulan terakhir, tagar #KaburAjaDulu ramai berseliweran di lini masa. Dari Twitter (sekarang X), TikTok, sampai Instagram, kalimat singkat tapi sarat makna ini jadi semacam sinyal yang disuarakan generasi muda Indonesia. Intinya? Mereka pengin banget keluar dari negeri ini—setidaknya sementara—buat cari napas segar di luar sana.
Entah itu lewat beasiswa, kerja remote dari luar negeri, visa working holiday, atau bahkan sekadar mencoba peruntungan baru. Fenomena ini bukan cuma soal jalan-jalan atau ikut tren, tapi jadi ekspresi kolektif dari generasi yang merasa stuck, lelah, dan kurang dihargai di negerinya sendiri.
Latar Belakang Munculnya Tagar “Kabur Aja Dulu”
Kalau ditelusuri, tagar ini bukan muncul karena iseng. Ada banyak faktor sosial, ekonomi, bahkan psikologis yang melatarbelakanginya.
- Biaya pendidikan yang tinggi, hasil tak sebanding
Banyak lulusan kampus top di Indonesia yang tetap harus bersaing keras buat dapat kerja layak. Sementara di luar negeri, peluang untuk dihargai secara merit jauh lebih besar. - Pasar kerja yang padat tapi tidak progresif
Di Indonesia, sistem kerja masih sangat hirarkis. Banyak yang mengeluhkan tidak adanya ruang untuk berkembang, gaji stagnan, dan proses naik jabatan yang lebih tergantung “relasi” daripada kualitas kerja. - Gaji minim, biaya hidup maksimal
Bahkan di kota besar seperti Jakarta atau Surabaya, biaya hidup sering kali nggak sebanding dengan gaji UMR. Sementara di negara seperti Jepang, Australia, atau Jerman, kerja part-time saja bisa menutupi biaya hidup sekaligus tabungan. - Burnout karena tekanan sosial dan politik
Dari korupsi, birokrasi lamban, sampai ketidakpastian masa depan, semua jadi bahan kekesalan. Wajar kalau akhirnya banyak anak muda mikir, “Kenapa enggak cari suasana baru dulu?”
Apakah Ini Bentuk Anti-Nasionalisme?
Nggak sedikit juga yang langsung ngecap tren ini sebagai “kurang cinta tanah air.” Tapi penting banget buat kita bedakan antara niat kabur dan niat meninggalkan selamanya.
Mayoritas dari mereka yang pakai tagar kabur aja dulu sebenernya bukan ingin kabur selamanya. Mereka cuma pengin “break” dari realita yang berat. Sama seperti kamu ambil cuti dari kerja karena burnout, bukan berarti kamu benci pekerjaanmu. Ini bentuk survival.
Justru banyak dari mereka yang punya harapan, setelah dapat ilmu dan pengalaman di luar negeri, bisa balik dan kontribusi lebih besar buat Indonesia. Seperti yang dijelaskan juga dalam artikel tentang diaspora dan perannya dalam pembangunan Indonesia, keberadaan WNI di luar bisa memperkuat koneksi ekonomi dan diplomasi kita.
Diaspora Bukan Masalah, Tapi Potensi
Kita bisa belajar dari India, Korea Selatan, dan Tiongkok yang justru tumbuh berkat kontribusi diaspora. Lulusan terbaik mereka kuliah atau kerja di luar, tapi kemudian balik atau tetap berkontribusi lewat riset, investasi, hingga promosi budaya.
Indonesia punya potensi yang sama. Kalau pemerintah bisa fasilitasi jalur pulang (misalnya lewat insentif pajak, kemudahan riset, atau program knowledge transfer), fenomena kabur ini justru bisa jadi investasi jangka panjang.
Tanggapan Pemerintah dan Isu “Brain Drain”
Pemerintah tentu nggak tinggal diam. Beberapa kementerian seperti Kemenaker dan Kemendikbudristek sudah mengeluarkan pernyataan terkait tren kabur aja dulu. Intinya, mereka memahami keresahan generasi muda, tapi juga mengingatkan soal potensi brain drain—hilangnya talenta terbaik dari negeri sendiri.
Masalahnya, kalau solusi yang ditawarkan cuma “sabar dulu ya,” tanpa perubahan nyata di lapangan kerja, sistem pendidikan, dan birokrasi, maka eksodus ini akan terus terjadi. Kritik terhadap tagar ini seharusnya dijawab dengan aksi konkret, bukan cuma narasi nasionalisme kosong.
Sebagai perbandingan, saat Indonesia sukses di kancah internasional seperti Sudirman Cup 2025, kita melihat bagaimana keberanian, kerja keras, dan strategi yang tepat bisa membawa hasil luar biasa. Semangat seperti inilah yang sebenarnya juga dimiliki para pejuang “kabur aja dulu,” hanya saja bentuk perjuangannya berbeda.
Potret Nyata: Cerita di Balik Tagar
Beberapa cerita yang beredar di media sosial memperkuat bahwa ini bukan sekadar tren. Seorang lulusan teknik dari ITS cerita bahwa dia apply ratusan kerjaan di Indonesia tanpa hasil, tapi justru diterima beasiswa di Eropa dan langsung dapat part-time job. Ada juga lulusan desain dari Bandung yang merasa lebih dihargai di Singapura karena ide-idenya bisa langsung dieksekusi tanpa harus tunduk pada senioritas.
Biar nggak cuma teori, mari kita simak cerita nyata beberapa anak muda Indonesia yang memutuskan untuk “kabur”—bukan karena menyerah, tapi karena ingin bertumbuh di tempat lain dulu.
🧳 1. Fajar, 27 tahun – Software Engineer di Tokyo, Jepang
Fajar dulu kerja di startup fintech di Jakarta. Gajinya cukup oke, tapi tekanan kerja dan lembur nggak manusiawi. “Saya merasa kerja cuma buat bayar hidup, bukan buat berkembang,” katanya. Lewat LinkedIn, dia dapat tawaran kerja di Jepang, dan sejak pindah, Fajar mengaku hidupnya lebih seimbang.
“Di sini, walau kerja keras, semua dihargai. Sistemnya transparan, nggak ada drama kantor, dan saya bisa saving lebih banyak tiap bulan.”
Meski jauh dari rumah, Fajar aktif di komunitas diaspora dan bahkan sering jadi mentor buat teman-teman Indonesia yang mau ikut jejaknya.
🎓 2. Nia, 25 tahun – Mahasiswa S2 di Belanda
Nia kuliah S1 di Bandung dan pernah daftar CPNS tapi gagal dua kali. Dia merasa sistem seleksi banyak ‘abu-abu’. Frustrasi, dia daftar beasiswa dan akhirnya keterima kuliah komunikasi di Utrecht.
“Awalnya niat cuma belajar, tapi ternyata malah ngerasa lebih ‘hidup’. Gaya belajar di sini bikin saya ngerasa dihargai sebagai manusia, bukan cuma angka di ijazah.”
Nia aktif di forum pelajar Indonesia dan berencana balik ke Indonesia setelah lulus, karena ingin membangun platform edukasi dengan metode baru.
🧑🔧 3. Bayu, 30 tahun – Working Holiday Visa di Australia
Bayu dari kecil hidup di kampung di Klaten. Lulusan SMK, kerja serabutan, sempat jadi driver ojol. Tapi dia dengar soal program working holiday di Australia, belajar bahasa Inggris seadanya, dan nekat berangkat.
“Di sana saya kerja di kebun jeruk, jadi kasir, bersih-bersih hostel. Tapi gajinya bisa buat kirim ke orang tua dan nabung beli tanah. Di sini saya cuma jadi angka, di sana saya punya masa depan.”
Bayu nggak malu kerja kasar, karena yang dia kejar bukan gengsi, tapi hidup yang layak.
Cerita-cerita ini jadi semacam validasi: kadang sistem luar negeri lebih cepat mengapresiasi dibanding sistem dalam negeri yang kerap ribet dan politis.
Apakah Semua Harus Kabur?
Nggak juga. “Kabur” bukan satu-satunya jalan. Banyak juga anak muda yang tetap memilih stay dan berkarya di Indonesia, dan itu sama kerennya. Tapi yang perlu kita jaga adalah hak setiap orang untuk memilih, tanpa dihakimi.
Mau stay atau mau pergi, keduanya sama-sama bentuk cinta tanah air. Yang satu berjuang dari dalam, yang satu dari luar. Dan kita harusnya saling dukung, bukan saling nyinyir.
Apa yang Bisa Dilakukan?
- Buat ekosistem kerja yang sehat dan berkembang
Gaji layak, ruang tumbuh, dan kepastian karier akan menahan talenta tetap di dalam negeri. - Perbaiki sistem pendidikan dan birokrasi beasiswa
Kurangi diskriminasi dan sistem titip-menitip yang bikin orang malas bersaing sehat. - Bangun platform diaspora
Dorong yang sudah sukses di luar buat terhubung kembali ke dalam negeri lewat project kolaboratif, investasi, atau mentorship.
Untuk kamu yang pengin baca lebih lanjut soal data dan tren migrasi talenta muda Indonesia, bisa cek laporan dari Katadata – Fenomena #KaburAjaDulu
Penutup
Fenomena kabur aja dulu bukan sekadar tagar iseng. Ini adalah alarm, sinyal bahwa generasi muda sedang gelisah dan mencari makna hidup di luar sistem yang mereka rasa tak berpihak.
Daripada mengecam atau menghakimi, lebih baik kita dengarkan dan evaluasi. Karena bisa jadi, mereka yang “kabur” hari ini justru yang bakal jadi penyelamat bangsa di masa depan.
Kalau kamu termasuk yang lagi mikirin opsi “kabur aja dulu,” ingat: ke luar negeri bukan akhir dari nasionalisme. Selama niatmu baik, dan kamu nggak lupa akar, maka kepergianmu bisa jadi perjalanan untuk kembali dengan versi dirimu yang lebih kuat.