Hari Kesehatan Mental Sedunia 2025: Krisis di Depan Mata, Akses Layanan Masih Jadi PR Besar
Setiap tanggal 10 Oktober, dunia berhenti sejenak untuk merefleksikan sebuah isu kesehatan yang seringkali tak terlihat namun dampaknya sangat nyata. Ialah kesehatan mental. Peringatan Hari Kesehatan Mental Sedunia tahun 2025 ini datang dengan sebuah tema yang sangat relevan dan mendesak: “Akses Layanan di Tengah Krisis”. Tema ini menjadi sebuah alarm keras yang menyadarkan kita bahwa di tengah meningkatnya angka depresi, kecemasan, dan masalah kejiwaan lainnya pasca-pandemi, akses untuk mendapatkan pertolongan profesional justru masih menjadi sebuah kemewahan yang sulit dijangkau oleh sebagian besar masyarakat.
Di Indonesia, tantangan ini terasa berkali-kali lipat lebih berat. Kombinasi antara stigma sosial yang masih mengakar kuat, minimnya jumlah tenaga kesehatan jiwa yang tidak merata, dan biaya layanan yang mahal menciptakan sebuah “tembok” raksasa yang menghalangi jutaan orang untuk bisa mendapatkan bantuan yang mereka butuhkan dan berhak dapatkan. Peringatan tahun ini bukan lagi sekadar ajakan untuk “lebih sadar”, melainkan sebuah panggilan darurat untuk aksi nyata.
Potret Krisis Kesehatan Mental di Indonesia
Data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) terbaru dan berbagai survei kesehatan menunjukkan sebuah gambaran yang mengkhawatirkan. Prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk usia di atas 15 tahun menunjukkan peningkatan yang signifikan. Gangguan kecemasan dan depresi menjadi dua masalah utama yang paling banyak diderita, terutama di kalangan Generasi Z dan Milenial.
Beban hidup modern, tekanan dari media sosial, ketidakpastian ekonomi, dan sisa-sisa trauma dari isolasi pandemi menjadi beberapa faktor pemicu utamanya. Namun, ironisnya, peningkatan jumlah penderita ini tidak diimbangi dengan peningkatan akses terhadap layanan.
Tembok Penghalang: Mengapa Mencari Bantuan Begitu Sulit?
Mengapa akses layanan kesehatan mental di Indonesia masih menjadi “PR besar”? Ada beberapa tembok penghalang utama.
1. Stigma Sosial yang Membekukan
Ini adalah tembok yang paling tebal dan paling sulit diruntuhkan. Di banyak kalangan masyarakat, pergi ke psikolog atau psikiater masih dianggap sebagai sesuatu yang memalukan, sebuah tanda “kegilaan” atau “kurang iman”. Label-label negatif ini membuat banyak orang yang sebenarnya sangat membutuhkan bantuan menjadi takut untuk mencari pertolongan karena cemas akan dihakimi oleh lingkungan sekitar atau bahkan oleh keluarga sendiri.
2. Biaya yang Tidak Terjangkau
Satu sesi konsultasi dengan psikolog klinis di kota besar bisa memakan biaya ratusan ribu hingga lebih dari satu juta rupiah. Angka ini tentu saja sangat tidak terjangkau bagi sebagian besar masyarakat. Meskipun beberapa layanan sudah bisa ditanggung oleh BPJS, namun alur birokrasinya yang terkadang panjang dan ketersediaan psikolog di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) yang masih sangat terbatas menjadi kendala tersendiri.
3. Ketersediaan Tenaga Profesional yang Tidak Merata
Jumlah psikolog klinis dan psikiater di Indonesia masih sangat jauh dari rasio ideal yang ditetapkan oleh WHO. Lebih parahnya lagi, sebagian besar dari mereka terkonsentrasi di kota-kota besar seperti Jakarta. Ini menciptakan kesenjangan akses yang luar biasa besar bagi masyarakat yang tinggal di kota-kota kecil atau di daerah pedesaan.
Kesehatan Mental adalah Fondasi Hubungan yang Sehat
Pentingnya menjaga kesehatan mental tidak bisa diremehkan, karena ia adalah fondasi dari semua aspek kehidupan kita, termasuk hubungan. Individu yang berjuang dengan masalah mental yang tidak tertangani akan kesulitan untuk bisa membangun dan mempertahankan hubungan yang sehat. Banyak sekali faktor psikologis yang bisa menjadi penyebab perceraian, dan seringkali, akar masalahnya adalah kesehatan mental salah satu atau kedua pasangan yang terabaikan.
Untuk mendapatkan informasi, direktori layanan, dan sumber-sumber kredibel mengenai kesehatan jiwa di Indonesia, organisasi seperti Himpunan Psikolog Indonesia (HIMPSI) adalah rujukan utama.
Hari Kesehatan Mental Sedunia: Tanggung Jawab Kita Bersama
Pada akhirnya, peringatan Hari Kesehatan Mental Sedunia 2025 dengan temanya yang sangat relevan ini adalah sebuah cermin bagi kita semua. Ini adalah sebuah panggilan tanggung jawab kolektif. Bagi pemerintah, ini adalah tugas untuk merumuskan kebijakan yang nyata dalam memperluas akses layanan dan mengintegrasikannya ke dalam sistem kesehatan primer. Bagi kita sebagai masyarakat, ini adalah tugas untuk terus memerangi stigma, untuk menjadi pendengar yang lebih baik bagi orang-orang di sekitar kita, dan untuk menormalisasi percakapan tentang kesehatan mental. Karena kesehatan jiwa bukanlah sebuah kemewahan, melainkan hak asasi manusia yang fundamental.