Childfree dan Malas Punya Anak, Provinsi Mana yang Paling Parah?

Sebuah pergeseran demografis yang signifikan sedang terjadi secara senyap di Indonesia. Di tengah hiruk pikuk politik dan ekonomi, data statistik menunjukkan sebuah tren yang mengkhawatirkan sekaligus menarik: angka kelahiran total atau Total Fertility Rate (TFR) di Indonesia terus menurun. Semakin banyak pasangan usia subur yang secara sadar memutuskan untuk tidak memiliki anak. Fenomena childfree, yang dulu dianggap sebagai konsep aneh dari Barat, kini menjadi realita yang semakin lumrah di kota-kota besar.

Data terbaru dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang dirilis pada awal tahun 2025 menunjukkan bahwa TFR nasional kini berada di angka 2,1 anak per wanita—angka yang nyaris menyentuh batas replacement level. Namun, yang lebih mengejutkan adalah data di tingkat provinsi. DKI Jakarta tercatat sebagai provinsi dengan TFR terendah di seluruh Indonesia, jatuh di bawah angka 1,7. Ini adalah sebuah sinyal kuat bahwa di pusat denyut ekonomi dan gaya hidup modern, memiliki anak bukan lagi sebuah keniscayaan. Memiliki anak merupakan sebuah pilihan yang diperhitungkan dengan sangat matang.

Mengapa Terjadi? Alasan Ekonomi Menjadi Tembok Utama

Menurut para sosiolog dan ekonom, alasan utama di balik fenomena childfree dan menurunnya angka kelahiran ini bersifat multifaset, namun akarnya seringkali sama: ekonomi.

1. Biaya Hidup dan Membesarkan Anak yang Selangit: Di kota-kota besar seperti Jakarta, biaya untuk membesarkan satu orang anak hingga ia mandiri bisa mencapai miliaran rupiah. Mulai dari biaya kesehatan saat hamil, persalinan, pendidikan dari PAUD hingga universitas, hingga kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Bagi banyak pasangan muda, terutama dari generasi Milenial dan Gen Z, angka-angka ini terasa sangat menakutkan dan di luar jangkauan.

2. Ketidakpastian Ekonomi dan Karier: Dunia kerja modern yang semakin kompetitif dan tidak stabil membuat banyak anak muda merasa cemas akan masa depan finansial mereka sendiri. Dengan gaji yang seringkali terasa pas-pasan dan harga properti yang tidak terkejar, ide untuk menambah tanggungan baru terasa seperti sebuah kemewahan yang sangat berisiko.

3. Ambisi Karier, Terutama bagi Wanita: Semakin banyak wanita yang memiliki pendidikan tinggi dan ambisi karier yang kuat. Bagi sebagian dari mereka, memiliki anak dianggap sebagai sebuah “jeda” atau bahkan “hambatan” yang bisa mengorbankan kemajuan karier yang telah mereka bangun dengan susah payah.

Pergeseran Nilai dan Alasan Psikologis di Baliknya

Selain faktor ekonomi, ada pergeseran nilai sosial dan alasan psikologis yang mendalam di balik fenomena childfree ini.

  • Fokus pada Pengembangan Diri: Generasi sekarang lebih menekankan pada kebahagiaan dan pemenuhan diri (self-fulfillment). Mereka ingin memiliki kebebasan untuk bepergian, mengejar hobi, dan berinvestasi pada diri sendiri, sesuatu yang akan jauh lebih sulit dilakukan jika memiliki anak.
  • Tanggung Jawab Mental yang Berat: Kesadaran akan kesehatan mental semakin tinggi. Banyak anak muda yang sadar bahwa menjadi orang tua adalah sebuah tanggung jawab emosional dan psikologis yang luar biasa besar. Mereka tidak ingin memiliki anak jika mereka merasa belum siap secara mental. Kekhawatiran untuk mengulangi kesalahan orang tua mereka di masa lalu juga menjadi faktor pertimbangan yang signifikan.
  • Kekhawatiran akan Masa Depan Dunia: Isu-isu global seperti perubahan iklim, kepadatan penduduk, dan ketidakstabilan politik membuat sebagian orang merasa ragu untuk membawa kehidupan baru ke dunia yang dianggap semakin tidak pasti.

DKI Jakarta: Episentrum Fenomena Childfree di Indonesia

Mengapa DKI Jakarta menjadi provinsi dengan angka kelahiran terendah? Karena semua faktor yang disebutkan di atas terakumulasi dengan intensitas tertinggi di ibu kota. Biaya hidup di Jakarta adalah yang paling mahal di Indonesia. Harga sewa atau cicilan rumah tidak masuk akal bagi kebanyakan pasangan muda. Tekanan kerja dan tingkat stres juga paling tinggi. Selain itu, sebagai pusat gaya hidup modern, nilai-nilai individualisme dan fokus pada karier juga paling kuat terasa di sini. Perempuan di Jakarta memiliki tingkat partisipasi angkatan kerja dan tingkat pendidikan yang termasuk paling tinggi di Indonesia. Hal ini secara statistik berkorelasi langsung dengan penurunan angka kelahiran.

Fenomena Childfree: Sebuah Sinyal Demografis untuk Masa Depan Indonesia

Pada akhirnya, fenomena childfree dan menurunnya angka kelahiran adalah sebuah isu yang kompleks dan tidak bisa dihakimi secara hitam-putih. Ini bukanlah sekadar tren “malas punya anak”, melainkan sebuah respons rasional dari generasi muda terhadap tantangan ekonomi, sosial, dan psikologis yang mereka hadapi. Bagi pemerintah, tren ini adalah sebuah sinyal demografis yang sangat penting. Jika terus berlanjut, Indonesia berpotensi menghadapi masalah penuaan populasi (aging population) di masa depan. Jumlah penduduk usia produktif akan tidak sebanding dengan jumlah lansia. Merumuskan kebijakan yang bisa mendukung para pasangan muda—mulai dari penyediaan perumahan yang terjangkau, cuti orang tua yang layak, hingga penitipan anak yang berkualitas—mungkin akan menjadi salah satu tantangan terbesar bagi Indonesia dalam dekade-dekade mendatang.