Takut Menikah Bukan Cuma Soal Belum Siap, Psikolog Ungkap 5 Alasan Terdalamnya
“Kapan nikah?” Pertanyaan ini mungkin menjadi salah satu yang paling sering didengar (dan paling dihindari) oleh para dewasa muda di Indonesia. Di tengah tekanan sosial, ikatan pernikahan seringkali terasa seperti sebuah garis finis yang harus segera dicapai. Namun, bagi sebagian orang, ide tentang pernikahan justru tidak mendatangkan kebahagiaan. Melainkan kecemasan yang mendalam, bahkan rasa takut yang melumpuhkan. Fenomena takut menikah, atau yang dikenal sebagai gamophobia, jauh lebih kompleks dari sekadar “belum siap” atau “belum ketemu jodoh”.
Para psikolog menjelaskan bahwa di balik keengganan untuk berkomitmen ini, seringkali tersimpan akar masalah psikologis yang lebih dalam. Rasa takut ini bisa menjadi sebuah “rem” yang menahan seseorang untuk melangkah maju dalam hubungannya. Bahkan ketika ia sudah menemukan pasangan yang sangat ia cintai. Ini bukanlah sebuah pilihan yang dibuat dengan sengaja. Melainkan sebuah respons emosional yang lahir dari berbagai pengalaman dan kekhawatiran.
Apa Itu Gamophobia? Lebih dari Sekadar ‘Nikah Nanti Saja’
Penting untuk membedakan antara kegugupan pra-nikah yang normal dengan gamophobia. Merasa sedikit cemas sebelum mengambil keputusan sebesar pernikahan adalah hal yang sangat wajar. Namun, gamophobia adalah rasa takut yang persisten, tidak rasional, dan seringkali luar biasa terhadap ide pernikahan atau komitmen jangka panjang. Penderitanya mungkin bisa menjalin hubungan pacaran selama bertahun-tahun, namun saat pembicaraan mulai mengarah ke jenjang yang lebih serius. Mereka akan merasa panik dan cenderung menyabotase hubungannya sendiri.
Lima Alasan Psikologis di Balik Rasa Takut Menikah
Menurut para ahli, ada beberapa alasan fundamental mengapa seseorang bisa mengembangkan rasa takut menikah.
1. Takut Akan Kegagalan dan Perceraian
Ini adalah alasan yang paling umum di era modern. Tingginya angka perceraian yang terus diberitakan membuat institusi pernikahan terlihat sangat rapuh. Seseorang mungkin berpikir, “Untuk apa menikah jika kemungkinannya 50% akan berakhir dengan perceraian yang menyakitkan?”.
- Pengalaman Sebagai ‘Anak Broken Home’: Rasa takut ini menjadi berkali-kali lipat lebih kuat pada mereka yang merupakan anak dari orang tua yang bercerai. Mereka telah menyaksikan secara langsung betapa menyakitkan dan merusaknya sebuah perpisahan. Trauma ini menciptakan luka dan keyakinan di alam bawah sadar bahwa pernikahan adalah sebuah pertaruhan yang kemungkinan besar akan berakhir dengan kegagalan yang sama.
2. Takut Kehilangan Kebebasan dan Identitas Diri
Bagi banyak orang, terutama di era yang sangat menghargai individualitas, pernikahan seringkali dilihat sebagai sebuah “penjara” yang akan merenggut kebebasan mereka.
- Kekhawatiran yang Muncul: “Apakah aku masih bisa hangout dengan teman-temanku?”, “Apakah aku harus melepaskan karierku?”, “Apakah aku akan kehilangan diriku sendiri dan hanya menjadi ‘istri’ atau ‘suami’ seseorang?”. Ketakutan ini membuat komitmen seumur hidup terasa seperti sebuah pengorbanan yang terlalu besar.
3. Trauma dari Hubungan Masa Lalu
Sebuah hubungan masa lalu yang berakhir dengan sangat menyakitkan—misalnya karena pengkhianatan atau kekerasan—bisa meninggalkan luka trauma yang mendalam. Pengalaman ini menciptakan sebuah “tembok” pertahanan diri. Rasa takut menikah dalam kasus ini adalah sebuah mekanisme perlindungan. Otak mereka seolah berkata, “Komitmen adalah sumber rasa sakit. Jangan pernah lagi menempatkan dirimu dalam posisi serentan itu.”
4. Tekanan dari ‘Keluarga Sempurna’ di Media Sosial
Di sisi lain, gambaran keluarga yang tampak terlalu sempurna di media sosial juga bisa menjadi sumber tekanan.
- Dampaknya: Paparan konstan terhadap citra “keluarga Instagram” yang selalu bahagia, liburan mewah, dan anak-anak yang selalu ceria bisa menciptakan standar yang tidak realistis. Seseorang mungkin merasa, “Aku tidak akan pernah bisa sesempurna itu,” yang kemudian menimbulkan rasa cemas dan tidak mampu, membuat mereka enggan untuk memulai. Ironisnya, di balik citra sempurna itu, terkadang ada pola asuh yang justru menekan, seperti pada fenomena ‘Gramnesia’, di mana orang tua lebih fokus pada konten daripada kenangan.
5. Isu Kelekatan (Attachment Issues) dari Pola Asuh Masa Kecil
Ini adalah akar yang paling dalam. Hubungan kita dengan orang tua di masa kecil membentuk gaya kelekatan kita saat dewasa. Jika seorang anak tumbuh dengan orang tua yang tidak konsisten, dingin secara emosional, atau sering mengabaikannya, ia bisa mengembangkan insecure attachment style. Saat dewasa, mereka akan kesulitan untuk percaya sepenuhnya pada pasangan dan merasa tidak nyaman dengan keintiman emosional yang mendalam, yang merupakan fondasi dari sebuah pernikahan.
Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam mengenai bagaimana hubungan masa kecil memengaruhi hubungan dewasa, sumber-sumber kredibel seperti Psychology Today – Attachment adalah rujukan yang sangat baik.
Penutup: Memahami Rasa Takut untuk Bisa Melangkah Maju
Pada akhirnya, takut menikah bukanlah sebuah karakter atau pilihan sadar, melainkan sebuah respons emosional yang kompleks terhadap berbagai pengalaman dan kekhawatiran. Menghakimi atau menekan seseorang yang memiliki rasa takut ini justru akan semakin memperburuk keadaan. Langkah pertama untuk bisa mengatasinya adalah dengan memahami dan mengakui akar dari rasa takut tersebut, baik melalui introspeksi diri maupun dengan bantuan profesional seperti psikolog atau terapis. Dengan membongkar “luka” masa lalu dan membangun kembali kepercayaan pada diri sendiri dan orang lain, pintu menuju komitmen yang sehat dan membahagiakan akan selalu terbuka.