Lebih Dalam tentang ‘Fenomena Daddy Issue’: Bukan Sekadar Lelucon, Ini Penjelasan Psikolog

Istilah “daddy issue” seringkali kita dengar dalam percakapan sehari-hari atau bahkan menjadi bahan lelucon di media sosial. Biasanya, istilah ini dilemparkan secara serampangan kepada seorang wanita yang cenderung menjalin hubungan dengan pria yang usianya jauh lebih tua. Namun, di balik penggunaannya yang terkesan kasual dan seksis, fenomena daddy issue sesungguhnya merujuk pada sebuah konsep psikologis yang nyata. Fenomena ini juga kompleks dan memiliki dampak yang mendalam bagi kehidupan seseorang—baik wanita maupun pria.

Ini bukanlah sebuah diagnosis klinis resmi. Ini merupakan sebuah istilah populer untuk menggambarkan bagaimana hubungan yang tidak ideal dengan figur ayah di masa kecil. Hal ini dapat membentuk pola perilaku dan kesulitan dalam hubungan saat dewasa. Menurut para psikolog, ini bukanlah sesuatu untuk ditertawakan, melainkan sebuah luka batin yang membutuhkan pemahaman dan kesadaran untuk bisa dipulihkan. Mari kita bedah lebih dalam apa itu daddy issue, apa saja ciri-cirinya, dan apa akar penyebabnya.

Apa Itu ‘Daddy Issue’ dalam Kacamata Psikologi?

Secara psikologis, fenomena daddy issue berakar pada teori kelekatan (attachment theory). Hubungan pertama yang kita bentuk dengan pengasuh utama (termasuk ayah) di masa kecil akan menjadi “cetak biru” atau template bagi semua hubungan kita di masa depan. Figur ayah merepresentasikan rasa aman, perlindungan, validasi, dan menjadi contoh bagi anak tentang bagaimana seorang pria bersikap dalam sebuah hubungan.

Ketika hubungan dengan figur ayah ini bermasalah, karena ketidakhadiran secara fisik dan emosional, terlalu kritis, atau bahkan abusif. Hal ini menyebabkan cetak biru tersebut akan menjadi “rusak”. Akibatnya, saat dewasa, orang tersebut akan secara tidak sadar mencoba untuk “memperbaiki” atau mencari kembali apa yang hilang. Ia akan mencari kekurangan dari hubungan masa kecilnya itu di dalam hubungan romantis dewasanya.

Ciri-ciri Seseorang yang Mengalami ‘Daddy Issue’

Ciri-ciri ini bisa termanifestasi dalam berbagai bentuk perilaku dalam hubungan dewasa. Penting untuk diingat, tidak semua orang akan menunjukkan semua ciri ini.

1. Cenderung Memilih Pasangan yang Jauh Lebih Tua Ini adalah ciri yang paling stereotipikal. Namun seringkali ada benarnya. Secara tidak sadar, mereka mungkin mencari figur “ayah” pada pasangannya—seseorang yang bisa memberikan stabilitas, perlindungan, dan bimbingan yang tidak pernah mereka dapatkan di masa kecil.

2. Kebutuhan Konstan akan Validasi dan Kepastian (Reassurance) Karena tidak mendapatkan validasi dari ayahnya, mereka tumbuh dengan keraguan yang mendalam akan nilai diri mereka. Dalam hubungan, mereka menjadi sangat “haus” akan pujian dan kepastian. Mereka akan terus-menerus bertanya, “Apakah kamu benar-benar sayang aku?”, “Aku cantik/pintar, kan?”. Mereka butuh validasi eksternal untuk merasa berharga.

3. Rasa Cemburu yang Berlebihan dan Takut Ditinggalkan Luka akibat ditinggalkan (baik secara fisik maupun emosional) oleh sang ayah di masa lalu menciptakan rasa takut yang luar biasa akan pengabaian (abandonment issue). Hal ini membuat mereka menjadi sangat posesif, mudah cemburu, dan seringkali menuntut perhatian penuh dari pasangannya karena takut akan kehilangan lagi.

4. Kesulitan Mempercayai Pasangan Jika seorang anak tumbuh dengan ayah yang tidak bisa diandalkan atau sering melanggar janji, ia akan kesulitan untuk bisa percaya sepenuhnya pada pria lain saat dewasa. Mereka mungkin akan selalu curiga atau mencari-cari tanda-tanda pengkhianatan.

5. Menjalin Hubungan dengan Pasangan yang “Tidak Tersedia” secara Emosional Ini adalah pola pengulangan yang tragis. Secara tidak sadar, mereka justru tertarik pada tipe pasangan yang dingin, menjaga jarak, atau tidak tersedia secara emosional—mirip seperti ayah mereka. Ini adalah upaya bawah sadar untuk “memenangkan” cinta yang dulu tidak bisa mereka dapatkan, meskipun seringkali hanya berujung pada kekecewaan yang sama.

Akar Penyebab: Ketiadaan Figur Ayah yang Sehat

Penyebab dari fenomena daddy issue ini sangat beragam, namun semuanya berpusat pada hubungan yang disfungsional dengan ayah.

  • Ayah yang Tidak Hadir Secara Fisik: Bisa karena perceraian, kematian, atau pekerjaan yang menuntutnya untuk selalu pergi.
  • Ayah yang Tidak Hadir Secara Emosional: Fisiknya ada di rumah, tetapi ia dingin, menjaga jarak, tidak pernah terlibat dalam kehidupan emosional anak, dan tidak pernah memberikan pujian atau dukungan.
  • Ayah yang Terlalu Kritis atau Perfeksionis: Ayah yang tidak pernah merasa puas dengan pencapaian anak dan selalu menuntut lebih, menciptakan luka bahwa “aku tidak pernah cukup baik”.
  • Ayah yang Abusif: Ayah yang melakukan kekerasan fisik atau verbal akan meninggalkan trauma yang sangat mendalam pada cara anak memandang figur pria.

Kualitas pengasuhan memang menjadi fondasi utama. Ada banyak sekali tanda-tanda orang tua yang bisa punya anak sukses, dan kehadiran figur ayah yang suportif adalah salah satunya.

Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam mengenai teori kelekatan dan dampaknya pada hubungan dewasa, sumber-sumber kredibel seperti Psychology Today (https://www.psychologytoday.com/us/basics/attachment) menyediakan penjelasan yang sangat komprehensif.

Penutup: Dari Luka Menuju Penyembuhan

Pada akhirnya, memahami fenomena daddy issue bukanlah tentang menyalahkan para ayah atau memberikan label pada seseorang. Ini adalah tentang memahami sebuah luka. Ini adalah tentang menyadari bahwa pola hubungan kita saat dewasa seringkali merupakan gema dari apa yang kita alami di masa kecil. Langkah pertama menuju penyembuhan adalah kesadaran. Dengan menyadari pola-pola ini, seseorang bisa mulai belajar untuk memutus rantai tersebut, mencari validasi dari dalam diri sendiri, dan belajar untuk membangun hubungan yang lebih sehat yang didasari oleh kesetaraan, bukan oleh kebutuhan untuk mengisi kekosongan masa lalu. Ini adalah perjalanan yang tidak mudah, tetapi sangat mungkin untuk dilalui.